Buletin At-Tauhid edisi 36 Tahun XI
Sebagian orang memiliki waktu tertentu yang mereka jadikan hari, tanggal, atau tahun istimewa. Tanggal kelahiran, hari pernikahan, pencapaian puncak karir dan kesuksesan, serta waktu lainnya yang memiliki kesan emosianal dan sejarah. Kemudian mereka rayakan dan muliakan hari-hari tersebut. Ketika manusia biasa mampu menautkan perasaan mereka dengan hari-hari yang mereka anggap istimewa, lalu bagaimana sikap mereka ketika Rabb yang menciptakan mereka menjadikan waktu-waktu tertentu sebagai saat yang istimewa? Ya, Allah Ta’ala memuliakan waktu tertentu dari waktu-waktu lainnya. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS:At-Taubah: 36). Allah Ta’alaﷻmemilih empat bulan istimewa dari dua belas bilangan bulan lainnya.
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺshallallahu ‘alaihi wasallam dalam khutbah Arafahnya mengatakan, ‘Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan Sya’ban’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Nash-nash syariat yang mulia ini menjelaskan agar kita memanfaatkan 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beberapa alasan di antaranya:
Pertama: Pemilihan bulan ini sebagai bulan yang istimewa menunjukkan kesempurnaan ilmu dan hikmah yang dimiliki Allah Ta’ala. Yang demikian semakin membuat ibadah dan keimanan seorang muslim bertambah.
Kedua: mengagungkan apa yang Allah Ta’ala agungkan. Bulan Dzulhijjah ini adalah bulan yang memiliki kedudukan yang agung dalam syariat. Di antara bentuk pengagungan kaum muslimin kepada Allah Ta’ala adalah dengan mengagungkan apa yang Dia agungkan. Ini merupakan salah satu tanda kebaikan dan ketakwaan yang ada pada diri seorang hamba. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya)ﷻ, “Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS:Al-Hajj: 30). Firman-Nya juga (artinya)ﷻ, “Dan barangsiapa mengagungkan syi´ar-syi´ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS:Al-Hajj: 32).
Ketiga: Di antara bentuk pengagungan seorang muslim terhadap bulan ini adalah berhenti dari melakukan maksiat. Karena berbuat maksiat sejatinya adalah menzhalimi diri sendiri. Dan pengharamannya lebih ditekankan lagi pada bulan ini. Allahﷻ berfirman (artinya)ﷻ, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS:At-Taubah: 36).
Qatadah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kezhaliman di bulan haram lebih besar dosa dan keburukannya dibanding bulan-bulan selainnya. Walaupun kezhaliman dalam setiap hal itu adalah sesuatu yang besar. Namun Allah Ta’ala mengagungkan apa yang Dia inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir At-Taubah Ayat: 36).
Keempat: Termasuk bentuk mengagungkan bulan ini adalah dengan memperbanyak amal shalih. Para ulama mengatakan, “Sesungguhnya syariat mengagungkan suatu waktu atau tempat sebagai bentuk motivasi kepada seorang hamba untuk menambah amal ketaatan. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamﷺ bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram…” (HR. Muslim). Makna umum yang juga dipahami oleh para salaf, yakni bulan-bulan haram selain Muharam. Karena itu, mereka memperbanyak puasa di bulan-bulan tersebut. Rentang waktu yang paling mulia ketika bulan Dzulhijjah adalah pada 10 hari pertama. Di surat al-Fajr, Allah Ta’ala berfirman (artinya)ﷻ: “Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 1-2).
Ibn Rajab menjelaskan, malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Inilah tafsir yang benar dan tafsir yang dipilih mayoritas ahli tafsir dari kalangan sahabat dan ulama setelahnya. Dan tafsir inilah yang sesuai dengan riwayat dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma…” (Lathaiful Ma’arif).
Allah Ta’ala bersumpah dengan menyebut sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Yang ini menunjukkan keutamaan sepuluh hari tersebut. Karena semua makhluk yang Allah jadikan sebagai sumpah, adalah makhluk istimewa, yang menjadi bukti kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala. Karena itulah, amalan yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzulhijjah menjadi amal yang sangat dicintai Allah Ta’ala. Melebihi amal soleh yang dilakukan di luar waktu itu. Sebagaimana hadits dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamﷺ bersabda, “Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen.).” (HR. Bukhari , Ahmad, dan Turmudzi).
Dalam riwayat yang lain, Nabi ﷺshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allah dan tidak ada yang lebih besar pahalanya dari pada kebaikan yang dia kerjakan pada sepuluh hari al-Adha.” (HR. Ad-Daruquthni, hasan). Al-Hafidz Ibn Rajab mengatakan, hadis ini menunjukkan bahwa beramal pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah lebih dicintai di sisi Allah dari pada beramal pada hari-hari yang lain, tanpa pengecualian. Sementara jika suatu amal itu lebih dicintai Allah, artinya amal itu lebih utama di sisi-Nya. (Lathaiful Ma’arif).
Setelah mengetahui keutamaan ini, tentu harapan terbesar adalah pengetahuan itu dapat mengokohkan tekad dan membuahkan amalan. Kemudian mengajak masyarakat memakmurkan hari-hari istimewa ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam melakukan ketaatan kepada-Nya, khususnya pada 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah.
Penulis : Nurfitri Hadi, MA (Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)
Ziyadah
Keutamaan Puasa Arafah
Salah satu amalan utama di awal Dzulhijjah adalah puasa Arafah, pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini memiliki keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan seorang muslim pun. Puasa ini dilaksanakan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji. Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam Al Majmu’ berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl. Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab Hanabilah- mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah. “Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Maimunah, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, semoga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, semoga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim). Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ Al Fatawa).
Setelah kita mengetahui hal ini, tinggal yang penting prakteknya. Juga jika risalah sederhana ini bisa disampaikan pada keluarga dan saudara kita yang lain, itu lebih baik. Biar kita dapat pahala, juga dapat pahala karena telah mengajak orang lain berbuat baik. “Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah (harta amat berharga di masa silam, pen).” (Muttafaqun ‘alaih). “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).
Semoga Allah beri hidayah pada kita untuk terus beramal sholih.
Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, ST., MSc. (Pimpinan Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul Yogyakarta)
Artikel Muslim.Or.Id (dengan sedikit perubahan oleh redaksi)
Pertanyaan :
Sebutkan 4 bulan istimewa dari dua belas bilangan bulan lainnya?
Jawab :
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab